Apakah Ajaran Salafi Itu Benar

Perjalanan spiritualku n domestik mengenal Islam menemui babak hijau detik memulai penekanan di Jogjakarta. Bersesuai senior satu kamar di asrama mahasiswa Sumatera Barat yang punya penampilan aneh. Berjenggot rimbun dan seluar di atas ain kaki. Namanya anak asuh kampung yang baru sekali merantau, aku hanya bisa banyak mendengar barang apa yang seniorku itu sampaikan. Tiap malam aku dibombardir dengan istilah-istilah baru yang belum kuketahui sebelumnya tapi memiliki indikasi negatif dalam agama.

Berjalannya waktu dan semakin intensnya musyawarah kami, akhirnya aku mengenal sebuah aliran baru “Salafi”. Sebuah ajaran yang diklaim sebagai wahi nan paling kecil benar dan paling teguh memegang Al Qur’an dan As Sunnah. Sementara propaganda atau ajaran bukan dianggap bid’ah dan tidak sesuai dengan Islam “yang sebenarnya”.

Kendati tanpa didampingi makanya sang senior, aku melakukan pencarian lebih lanjut tentang “Salafi”. Lampau ceceran-sebaran pengajian nan disebar di kampus, akupun mulai mengunjungi masjid-bandarsah arena berlangsungnya kajian yang bertitel “mengikuti sunnah Nabi” ini. Aku terpukau dengan kapabilitas ustadz-ustadznya nan hafal ayat-ayat Al Qur’an dan Hadist. Banyak hadist-hadist bau kencur yang kudengar. Tampilan tawadhu’ para pendengar yang terdiri berpokok bapak-kiai dan pemuda-pemuda berjenggot-berjubah, serta wanita-wanita bercadar membuat kepincut untuk terus mengikuti pengajian-pengajian Salafi, karena sejak SMA aku sudah lalu mengidas memelihara janggut umpama sunnah Utusan tuhan, sampai-sampai aku berdiskusi berkanjang dengan koteng hawa berjilbab yang menyuruhku cak bagi memotong janggut. Aku nanang, inilah panggung aku menemukan antagonis-kutub nan melaksanakan hadist yang dulu nikah kutemui bahwa memilihara janggut merupakan episode dari sunnah Nabi.

Biarpun masih menjadi orang “aneh” dengan penampilan modern (pantalon dan kemeja), keinginanku buat belajar mengalahkan rasa risih. Seringkali para jama’ah lain menatap diriku kira lama. Mungkin karena dirasa sebagai orang yunior, kecondongan penampilanku yang tidak normal dapat mereka maklumi. Pekan-minggu berlalu, aku semakin asyik dengan pengajian demi pengajian. Di Tumpangan,  sang senior suatu kamar semakin intens menceritakan kejelekan-kejelekan ajaran di luar Salafi.

Aku bukan ingat lagi sejak kapan memotong lancingan hingga di atas matakaki. Semua celana panjangku kukirim ke penjahit untuk “dirapikan” hendaknya sama sama dengan lancingan-celana yang dipakai oleh anggota pengajian. Jenggotku start memanjang dan celanaku tidak kembali seluar lipatan. Mulailah bilang peserta pengajian mendekatiku dan mengajakku ngobrol. Aku berangkat merasa diterima sebagai bagian mereka. Aku merasa enjoy karena mulai mendapatkan teman-jodoh baru. Lambat laun hubunganku semakin intens dan mengenal lebih banyak lagi musuh-teman Salafi. Sampai satu boleh jadi perkenalan tentang kuliah, aku bilang orasi di Metafisika UGM. Sontak cuma raut bandingan bicaraku berubah. Awalnya aku tak mengetahui, kenapa setiap memasyarakatkan diri andai mahasiswa Filsafat mereka menyedang mengalihkan pembicaraan?

Jadinya aku sempat sebab-musabab, kenapa raut cahaya muka mereka berubah ketika kubilang orasi di Filsafat. Ternyata memang Salafi “mengharamkan Metafisika”. Berulangulang detik ceratai peran akal dalam memahami ajaran atau amatan-kajian mengenai firqoh-firqoh Islam, istilah makulat dikatakan dengan ucapan sinis. Beragam istilah dilekatkan kepada filsafat, “ilmu syetan”, “ilmu sesat”, “aji-aji tak bermanfaat”.

Kegelisahan mulai menderaku. Apakah benar kuliah nan sedang kujalani ketika ini adalah ceramah yang mempelajari ilmu nan dilarang internal Islam? Satu detik kuberanikan diri bertanya empat mata kepada beberapa Ustadz. Jawaban dari Ustadz yang kudatangi Setimbang. Mempelajari filsafat itu haram. Pertahananku jebol. Aku benar-benar binggung. Semester 3 aku mulai malas-malasan memencilkan ke kampus. Pagi perian dan siang hari aku sahaja termanggu di mes, berkata pada diri sendiri, “betapa bodohnya aku telah riuk memilih jurusan”. Aku menghindar memilih jurusan hukum atas radiks asumsi “Islami”, syariat di Indonesia adalah hukum thagut (kafir, sesat). Dan pilihan jurusan filsafat kusandarkan kepada sebuah artikel dalam interpretasi Al Qur’an yang dikeluarkan oleh Kementerian Agama. Tapi, di Jogja aku menemukan hal sebaliknya, “Makulat Gelap dalam Islam”.

Akibat elusif mengikuti perkuliahan, IP-ku jeblok. Padahal semester 1 dan 2 aku bertelur meraih IP di atas 3. Sementara, aktivitas pengajianku di Salafi semakin intens. Beberapa analisis yang kuikuti telah melewati batas kota Jogja.

Suatu ketika, aku berpikir tidak boleh jadi lagi melanjutkan kuliah di metafisika. Kuberanikan diri bicara sangat telpon kepada Bapak kerjakan berhenti kuliah. Aku kepingin timbrung pondok pesantren, mempelajari ilmu agama yang lebih luhur bersumber ilmu-mantra tak. Kusampaikan kepada Bapak dalil-dalil keharaman filsafat sebagaimana yang kudapatkan berusul ustadz. Bapak marah besar kepadaku. Aku cuek, karena yakin apa yang sampaikan bersusila menurut “agama”. Aku bersitegang dengan Bapak. Sejumlah hari setelah percekcokanku dengan Bapak, Ibu datang ke Jogja. Enggak henti Ibu menangis. Memberitahukan bagaimana Bapak tawar hati selit belit dengan “kegilaan-ku” memencilkan kuliah di UGM. Ibu memintaku untuk mengurungkan kehendak berhenti lektur. Jiwaku masih memberontak hari itu.

Beberapa musim Ibu menginap di kamar. Tak henti ratapan beliau detik memintaku untuk menimang-nimang kerja keras Kiai menguliahkanku dengan biaya nan raksasa di UGM. Akupun luluh. Lain sanggup rasanya melihat Ibu bercucuran airmata. Sifat bawaan berontak, bimbang antara memilih “agama” dan kemauan orang tua renta. Terlintas bacot ustadz-ustadz Salafi bahwa hormat kepada manusia tidak perlu seandainya melanggar perintah Almalik, hatta itu orangtua sendiri. Di sisi lain sanubariku berkata,
bukankah agama melarang seorang anak durhaka kepada orang tua?

Aku menghadapi dilema ini sendirian. Seniorku suatu kamar nan mengenalkanku dengan Salafi diam hari bodoh. Sibuk dengan kerja dan kuliahnya nan memang begitu padat. Menjelang kepulangan Ibu kembali ke kampung karena sudah bukan boleh berlalai-lalai di Jogja demi kerja dan mengurus adik-adikku yang masih boncel-kecil, sira sekali lagi memintaku untuk menyangkarkan niat berhenti kuliah. Aku tak bisa melawan Ibu dab melepas kepergian anda dengan tangisan. Kukuatkan tekad dan beberapa sejajar Ibu bahwa aku mengurungkan karsa cak jongkok kuliah. Aku akan kembali turut pidato dan mencari ketertinggalan selama ini. Berusaha gentur meraih IP seperti 2 semester awal silam. Dalam hati aku memerdukan tekad, “persetan dengan kata-kata Ustadz seandainya akhirnya aku membentuk Ibu menangis dan Bapak menjadi kecewa. Ada dibilang membuang nasib bakal mempelajari ilmu yang haram, cak semau dibilang sebagai pengkhianat agama. Persetan dengan semua dalil dan argumen agamis yang mereka sampaikan. Aku mau menghormati orangtuaku walaupun dianggap misal “kedurhakaan” kepada Tuhan.

Tutul genyot itu berlanjut ketika liburan semester 6, persis tiga masa aku menjalani atma sebagai mahasiswa di Jogja. Kudatangi kampus untuk registrasi masuk khotbah semester 7. Kuminta transkrip angka. Tak hingga 40 sks indra penglihatan kuliah yang telah kuambil. IPK-pun hancur di bawah 2,5. Hanya satu tekad kukobarkan, aku tak boleh mengecewakan Bapak dan Ibu pun.

Aku mulai syarah. Kajian Salafi masih tetap kuikuti. Aku masih doyan dengan uraian hadist dan Al Qur’an berpunca Ustadz, kendatipun sesekali sentilan negatif terhadap makulat taat memerahkan mukaku. Aku kemudian menjadi individu aneh. Pergaulanku dengan tampin-dagi Salafi semakin luas, karena aku adalah santri nan istimewa bagi mereka,
menjadi Salafi tapi ceramah di filsafat.

Suatu waktu di periode semula 2006, aku memutuskan untuk masuk Muhammadiyah lalu Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah UGM. Aku mulai intens mengikuti analisis tafsir Ustadz Dr. Yunahar Ilyas, Lc di kantor pusat Muhammadiyah Yogyakarta. Terserah keadaan bukan nan kutemui. Ustadz Yunahar lulusan Saudi Arabia, seperti Ustadz-Ustadz kenamaan Salafi nan juga menempuh penggalian di negeri nan didirikan Tanggungan Saud itu, yakni tren orasi Ustadz Yunahar yang kian soft dan kian mengedepankan metafor. Tidak pernah kamu menyerang filsafat, malahan mengatakan filsafat dibutuhkan kerjakan menghadang musuh-n partner Islam. Aku terheran-heran. Kok boleh cedera ya? Kuperhatikan face ustadz Yuhanar, kumis menghiasi wajahnya. Janggut hanya sedikit. Tak pernah kulihat Ustadz Yunahar memakai songkok haji lamun beliau sudah pergi haji berkali-mana tahu. Hanya peci hitam kewarganegaraan nan menurut beberapa antiwirawan Salafi, tidak Islami. Kuperhatikan lancingan kamu, berjuntai melewati mata suku. Aku menanya, kenapa “Ustadz” suatu ini berbeda dengan Ustadz-Ustadz Salafi-ku?

Keherananku semakin kentara momen Ustadz Faturahman Kamal mengantikan beberapa kali amatan Ustadz Yunahar. Ustadz Faturahman merupakan alumni Universitas Islam Madinah yang diklaim misal riuk suatu gerendel keilmuan Salafi. Kecenderungan ceramah beliau berlainan. Bahkan kadang-kadang ia membicarakan geliat dakwah kampus yang menguraikan ketidakwajaran halaqoh dakwah, yang secara eksplisit condong kepada Salafi.

Aku kembali bertanya-cak bertanya, apakah klaim Salafi ibarat firqoh yang minimal bersusila begitu juga yang berbuih-buih disampaikan oleh para Ustadznya BENAR? Sedangkan, senior satu kamarku yang melepasku dalam kebimbangan sorangan, meninggalkan Jogja. Engkau sudah lulus orasi dan hendak pulang kampung bakal mengejar pencahanan demi mempersiapkan lamarannya kepada pelecok satu p versus berusul penginapan putri.

Kuliahku bepergian lancar. IPK-ku semakin perian semakin naik. Aku semakin menikmati perkuliahan dan jabaran-jabaran filosofis yang disampaikan dosen. Kajian Salafi mulai musykil kuikuti, kecuali kajian Ustadz Ridwan Hamidi nan tidak bisa kutinggalkan sama sekali. Aku teramat suka dengan Ustadz Ridwan, yang seringkali mendapat ejekan dari kelompok Salafi yang lain, karena ceramah beliau nan lembut dan sering menciptakan menjadikan jiwaku tentram.

Sumir cerita, bulan Februari ini aku akan diwisuda. Menjadi lulusan terbaik fakultas Filsafat UGM cak bagi pelantikan perian pertama di musim 2010 dengan IPK 3,61. Penampilanku telah biasa. Tidak terserah lagi celana jingkrang di atas mata kaki dan janggut panjang yang terderai. Aku menjadi anak adam biasa. Aku tetap normal tidak menjadi gila dengan metafisika yang kupelajari. Aku masih sholat, baca Al Qur’an dan mempercayai Almalik. Filsafat mutakadim membeberkan wawasan dan perspektifku lebih luas n domestik memandang dunia. Tidak seperti saat di Salafi dengan kamil hitam-putih nan dibangun. Hidup dikurung dan dihiasi kebencian kepada orang tak dengan sekat “Ateis”, “Ahlul Bid’ah” dan “Kabilah Sesat” yang didasarkan pigura agama.

Rembulan ini, aku dapat mengobati airmata Ibu dan kekecewaan Buya beberapa musim lewat. Hari ini aku bahagia tanpa harus kehabisan keIslamanku. Malahan aku menemukan Selam nan damai lewat uraian Ustadz Yunahar Ilyas dan Ustadz Faturrahman Kamal.

Aku bukan peduli dengan sindiran keputusanku keluar dari Salafi. Terserah dibilang orang yang futur, tersesar dari jalan dakwah, atau sebutan menyakitkan lainnya. Aku tak peduli kadang-kadang. Yang penting aku masih menyembah Tuhan, masih mendengarkan Al Qur’an dan Hadist, masih sholat, puasa, mendengarkan ceramah, dan boleh berbakti kepada orangtuaku. Aku punya tiang penghidupan koteng dan mempunyai kekuatan manah lakukan mengarahkannya kemana. Aku sudah bukan peduli dengan buah cakap-omongan negatif mengenai keadaanku kini. Terserah mereka mau bilang apa…

*********************

NB:
Kutuliskan cerita ini setelah membaca
berita pembelajaran mahasiswa plonco Sekolah tinggi Selam Madinah diadakan di Pesantren Gontor
yang notabene bukan pesantren Salafi. Kenapa pemerintah Saudi makin berketentuan kepada Gontor ketimbang Pesantren-Pesantren Salafi yang detik ini mutakadim berdiri di berbagai kota di Indonesia??? Entahlah…

Source: https://grelovejogja.wordpress.com/2010/02/13/kenapa-aku-meninggalkan-salafi/




banner

×